Senin, 31 Januari 2011

Apa itu Ahlussunnah Wal Jamaah

1.  Tiga Sendi Utama Ajaran Islam

               Islam adalah agama Allah SWT yang diturunkan untuk seluruh manusia. Didalamnya terdapat pedoman dan aturan demi keselamatan didunia dan akhirat.
              Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam agama Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan.
Dalam sebuah Hadits diceritakan : "Dari Umar bin al-Khaththab r.a. berkata: "Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak ada tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk dihadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lutunya pada lutut Nabi SAW. Sedangkan kedua tangannya diletakkan diatas paha Nabi SAW. Laki-laki itu bertanya, "Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam". Rasulullah SAW menjawab, "Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadlan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu mampu melaksanakannya". Laki-laki itu menjawab, "Kamu benar". Umar berkata, "Kami heran kepada laki-laki tersebut  ia bertanya tapi ia sendiri yang membenarkannya". Laki-laki itu bertanya lagi, " Beritahukanlah aku tentang Iman". Nabi SAW menjawab,"Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-NYA, Kitab-NYA, para rasul-NYA, hari kiamat dan qadar ( ketentuan ) Allah yang baiki dan yang buruk". Laki-laki itu menjawab,"Kamu benar". Laki-laki itu bertanya lagi, " Beritahukanlah aku tentang ihsan". Nabi SAW menjawab, " Ihsan adalah kamu menyembah kepada Allah SWT seolah-olah kamu melihat-NYA, jika kamu tidak dapat melihat-NYA, maka sesungguhnya IA melihatmu". Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadaku, "Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi?". Aku menjawab: "Allah SWT dan RasulNYA lebih mengetahui". Lalu Nabi SAW bersabda, " Sesungguhnya laki-laki itu adalah Malaikat Jibril  AS. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu".( HR : Muslim, 9)

               Dari  sisi keilmuan semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda.  Perhatian terhadap Iman memunculkan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian sempit) menghadirkan Ilmu Fiqh atau Ilmu Hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi  Ihsan melahirkan Ilmu Tasawuf atau Ilmu Ahlak.
                Namun demikian, meskipun telah menjadi Ilmu tersendiri, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan.  Tidak terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan Ihsan dan Islam, atau sebaliknya. Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus meng-Esa-kan Allah disertai keyakinan bahwa Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam) dan shalat harus dilakukan dengan khusyu' dan penuh penghayatan (ihsan). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 208, yang artinya :  "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya Syetan itu musuh yang nyata bagimu".


2. Pengertian Aswaja

               Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal Jama'ah. Ada Tiga kata yang membentuk istilah tersebut,
1.  Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2.  Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, maksudnya semua yang datang dari Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW.
3.  Al-Jama'ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para shahabat Rasulullah SAW, pada masa khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar r.a, Umar bin al-Khaththab r.a, Utsman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib k.w).
Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW :
Artinya :"Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai disurga, maka hendaklah mengikuti al-jamaah (kelompok yang menjaga kebersamaan)". ( HR. al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang nilainya shahih dan disetujui oleh al-I-Hafizh al-Dzahabi).


Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077 - 1166 M) menjelaskan : bahwa " Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi, ucapan, prilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan Al-Jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para shahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)". (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, Juzz I, hal.80).

Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari (1287- 1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta'liqat ( hal.23-24) sebagai berikut :
Terjemahannya : "Adapun Ahlusunnah  Wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti .......



BAGIAN   I
Pemahaman Aswaja
1.      Tiga Sendi Utama Ajaran Islam

    Islam adalah Agama Allah SWT yang diturunkan untuk seluruh manusia. Didalamnya terdapat pedoman dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
    Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam agama Islam. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah Hadits di ceritakan  Sbb. :












Artinya :
          Dari Umar bin Khaththab r.a. berkata : Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rosulillah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya.  Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi SAW. Sedangkan kedua tangannya diletakkan diatas paha Nabi SAW. Laki-laki itu bertanya : “ Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam”. Rosululloh SAW menjawab: “Islam adalah kamu bersaksi tiada Tuhan selain Alloh SWT dan Muhammad adalah utusan Alloh SWT., mengerjakan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan suci romadlon dan kamu haji ke Baitulloh jika kamu telah mampu melaksanakannya”.  Laki-laki itu lalu menjawab : “ Kamu benar”. Umar berkata : “Kami heran kepada laki-laki tersebut, ia bertanya tapi ia sendiri yang membenarkannya”.  Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Iman.”  Nabi SAW menjawab : “ Iman adalah engkau beriman kepada Alloh SWT, malaikatNYA, kitab-kitabNYA, para RosulNYA, hari qiamat dan qodar (ketentuan) Alloh yang baik dan
1
yang buruk”. Laki-laki itu menjawab: “Kamu benar”. Laki-laki itu bertanya lagi :
Beritahukanlah aku tentang Ihsan”. Nabi SAW menjawab, “Ihsan adalah kamu menyembah Alloh SWT seolah-olah kamu melihatNYA, jika kamu tidak dapat melihatNYA, maka sesungguhnya IA melihatmu”.  Kemudian orang itu pergi . Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat, kemudian Rosululloh SAW bertanya kepadaku, “Wahai Umar siapakah yang datang tadi ?”. Aku menjawab: “ Allaoh SWT dan RosulNYA lebih mengetahui”.  Lalu Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya laki-laki itu adalah  Malaikat Jibril AS. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu”. (HR.Muslim:9).   

          Dari sisi keilmuan semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan / tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya para Ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian Ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian Ilmu yang berbeda. Perhatian terhadap Iman menculkan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.  Perhatian Khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan Ilmu Fiqih atau Ilmu Hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan Ilmu Tashawuf atau Ilmu Ahlaq. (Pemikiran KH.mad Siddiq, hal. 1-2)

          Namun demikian, meskipun telah menjadi Ilmu tersendiri, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak perlu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam, atau sebaliknya. Misalnya orang yang sedang sholat, dia harus mengesakan Alloh disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun sholat (Islam), dan sholat harus dilakukan dengan khusu’ dan penuh penghayatan (ihsan). Alloh SWT berfirman:


Artinya :
          Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah seyetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208).

2.     Pengertian Aswaja
          Dalam Istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari  Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut :
1.      Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikutnya
2
2.      Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW. Maksudnya ialah semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. ( Fath al-Barri,juz XII, hal 245).
3.      Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rosululloh SAW pada masa Khulafaur Rosyidin (Kholifah Abu Bakar r.a, Umar bin Khoththob r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Tholib k.wj.)
Kata Al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rosululloh SAW



Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai disurga, maka hendaklah ia mengikuti al-Jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”.(HR. al-Tirmidzi (2091), DAN AL-Hakim (1/77-78), yang menilainya shohih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dahabi).  

                Syaik Abdul Qodir al-Jilani (471-561 M / 1077-1166 M) menjelaskan :




Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rosululloh SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para shohabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rosyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Alooh SWT member rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghurryah li tholibi Thoriq al Haqq, Juz 1, hal. 80).
         Lebih jelas lagi, hadl rotusysyekh KH. Muhammad Hasyim  Asy’ari (1287-1336 H / 1871 – 1947 M ) menyebutkan dalam kitabnya  Ziyadat Ta’liqat ( hal. 23-24 sebagai berikut :





     “Adapun Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.  Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rosyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu pengikut mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki dab Hanafi “.
3
          Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah  bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi  dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam  yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para shohabatnya.

          Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari,  golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.  Yakni :

1.      Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.

2.      Dalam masalah fiqih terwujud dengan mengikuti mazhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab as-Syafi’i, dan Madzhab al- Hambali.

3.      Bidang tashawuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w.297 H / 910 M) dan Imam al-Ghozali).

3.Karakter Tawassuth, Tawazun dan I’tidal
              Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri aswaja,  yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rosululloh SAW dan para shahabatnya. Yaitu :
1.      Al- Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan ).  Disarikan dari firman Allah SWT :


Artinya :
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (ummat islam)  ummat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Alloh SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas {sikap dan perbuatan} kamu sekalian”. (QS. Al Baqarah: 143 ).
2.      At-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli. Firman Alloh SWT :
4
Artinya :
Sungguh kami telah mengutus rosul-rosul  kami dengan membawa  bukti kebenaran  yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penyeimbang keadilan)  supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid:25).
3.      Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam Al-Qur’an Alloh SWT berfirman :


Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Alloh menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Alloh, karena sesungguhnya Alloh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah: 8}.
          Selain ketiga prinsip ini, glongan Ahlussunnah Wal Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama.  Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Alloh SWT :


“Maka berbicaralah kamu berdua  (Nabi AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thaha:44).
          Ayat ini berbicara tentang perintah Alloh SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Ibrohim AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al- Hafidz Ibnu Katsir (701-704 H / 1302 – 1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan: “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah.  Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal.206).
          Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagi berikut :
5
1.      Akidah.
a.      Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
b.      Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam
c.       Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis, bid’ah apalagi kafir.

2.      Syari’ah.
a.      Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunakan methode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
b.      Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas (sharih / qath’i)
c.       Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif  (zhanni).

3.      Tashawuf / Akhlak.
a.      Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b.      Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c.       Berpedoman pada ahlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4.      Pergaulan antar golongan  
a.      Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan berdasarkan unsure pengikatnya masing-masing.
b.      Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c.       Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d.      Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi Agama Islam.

5.      Kehidupan bernegara
a.      NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b.      Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c.       Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang syah.
d.      Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6
6.      Kebudayaan
a.      Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b.      Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c.       Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan ( Almuhafazhoh ‘ala al-qodim al-sholih fa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

7.      Dakwah
a.      Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhoi Alloh SWT.
b.      Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c.       Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Kitab Nahdliyyah, Hal. 40-44).

4.      Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang  Akidah
         Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, bahwa Ahlussunnah Wal- Jama’ah merupakan Islam murni yang langsung dari Rosululloh SAW kemudian diteruskan oleh para sahabatnya.  Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Yang ada hanyalah Ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa paham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rosululloh SAW dan para sahabatnya yang murni itu.
           Dalam hal ini Ulama merumuskan